Monday, July 19, 2004
ide kecil
topik : pendidikan

Urgensi Pendidikan Murah dan Berkualitas untuk Perbaikan Negara

Setiap individu yang ada di bumi nusantara ini lahir dengan kapasitas potensinya masing-masing. Secara kolektif, kita semua berada dalam sistem negara kesatuan yang berdaulat dan pemerintahan demokratis. Secara nasionalis, kita berdiri sebagai sebuah bangsa yang harmonis, berhasil menyatukan ratusan etnis yang berbeda, dengan puluhan corak bahasa dan adat kebiasaannya.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah : Apakah Indonesia cukup baik untuk perkembangan masyarakatnya? Ada berbagai fenomena sosial yang menjadikan Indonesia bukan sebagai tempat yang baik bagi perkembangan individu masyarakatnya. Beberapa kasus yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah mengenai tawuran (pelajar maupun masyarakat etnis), fenomena kemiskinan, anak jalanan dan pengangguran serta etos kerja yang buruk. Sumber data dalam artikel ini dikutip dari berbagai artikel dari bps.go.id, serta dari buku laporan hasil survei bps. Pembahasan dilakukan dengan mengambil teori perencanaan pendidikan dari Phillip H. Combs & Jerry Miner.
TAWURAN
Kejadian tawuran di Indonesia, misalnya, begitu sering terjadi pada remaja di kota besar Indonesia, terutama di Kota Jakarta dan Bogor sehingga telah berada pada tahap yang mengkhawatirkan, dan telah memakan korban jiwa para remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa. Di Bogor saja, telah dilaporkan bahwa terjadinya tawuran seringkali merupakan aktivitas yang direncanakan sehingga termasuk kejahatan yang terencana, dimana para pelajar ini membawa senjata tajam aneka bentuk mulai dari gir sepeda, payung berbentuk pisau, golok, samurai, clurit dan berbagai benda berbahaya lain untuk menganiaya musuhnya dengan sengaja (Dina, Puspita, Tanjung dan Widiastuti, 2001). Di antara mereka bahkan melakukan penganiayaan hingga menewaskan lawannya dengan perasaan tidak bersalah dan berdosa.
ETOS KERJA YANG BURUK
Disamping itu etos kerja yang buruk, rendahnya disiplin diri dan kurangnya semangat untuk bekerja keras, keinginan untuk memperoleh hidup yang mudah tanpa kerja keras, nilai materialisme (materialism, hedonism) menjadi gejala yang umum dalam masyarakat. Hal ini tercermin pada tingginya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di Indonesia, khususnya pada lembaga pemerintahan sehingga mendapatkan gelar negara terkorup di dunia sesuai laporan PERC pada tahun 2002 [4].
ANAK JALANAN
Hasil survei Tri Wulan I (Januari-Pebruari-Maret) 2001 menunjukkan bahwa jumlah anak jalanan di 25 kantong penelitian di DKI Jakarta, diperkirakan sebanyak 1135 orang. Berdasarkan data tersebut jumlah anak jalanan yang paling banyak berada di wilayah/kodya Jakarta Barat, yaitu sebanyak 30.67 %, sedangkan yang paling sedikit berada di wilayah/kodya Jakarta Pusat, yaitu sebanyak 10.40 %.
Berdasarkan hasil survei triwulan II bulan April - Juni 2001, jumlah anak jalanan di 25 kantong penelitian di DKI Jakarta, diperkirakan bertambah sebesar 11.22 % bila dibandingkan dengan hasil survei triwulan I. Populasi anak jalanan terbesar masih tetap berada di kantong penelitian wilayah Jakarta Barat, yaitu sebesar 31.96%. Sementara itu, jumlah anak jalanan terkecil tetap berada di kantong penelitian wilayah Jakarta Pusat, yaitu sebesar 11.77% kondisi ini sama halnya dengan hasill survei pada triwulan I yang diadakan pada bulan Januari – Maret 2001

survei triwulan III bulan Juli - September 2001 memperlihatkan jumlah anak jalanan di 25 kantong penelitian di DKI Jakarta diperkirakan turun sebesar 7.00 % bila dibandingkan dengan hasil survei triwulan II. Populasi anak jalanan di Jakarta Barat menurun –22.03%, tetapi tetap berpersentase terbesar yaitu 26.80%. Sementara itu, walau mengalami kenaikan sebesar 21.69%, jumlah anak jalanan terkecil tetap berada di kantong penelitian wilayah Jakarta Pusat, yaitu sebesar 15.40%. Persentase ini cenderung sama dengan hasil survei pada triwulan II yang diadakan pada bulan April - Juni 2001.

Hasil survei anak jalanan triwulan IV, periode Oktober - Desember 2001 di 25 kantong penelitian di DKI Jakarta memperlihatkan penurunan jumlah anak jalanan sebesar 2,02 % bila dibandingkan dengan hasil survei triwulan III. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat dari kelima wilayah penelitian, telah terjadi penurunan populasi anak jalanan di tiga wilayah yang dianggap sebagai basis anak jalanan yaitu masing-masing Jakarta Utara 9.14 %, Jakarta Timur 2.76 % dan Jakarta Selatan 24.85 %. Sementara itu, untuk triwulan IV, jumlah anak jalanan terkecil berada di Wilayah Jakarta Utara yaitu sebesar 15,34 %. Ini berarti menggeser posisi jumlah anak jalanan di wilayah Jakarta Pusat pada triwulan sebelumnya.
FENOMENA KEMISKINAN
Seorang peneliti di BPS (bps.go.id) mengemukakan bahwa; secara nasional, kondisi ketahanan pangan dan kemiskinan sangat berkaitan dengan jumlah, pertumbuhan, komposisi dan pesebaran penduduk. Ia menemukan bahwa kondisi ketahanan pangan sendiri mempunyai hubungan timbal balik dengan kemiskinan, tetapi tidak selalu positif, karena selain kebijakan pemerintah banyak variablel-variabel yang mempengaruhi kedua keadaan tersebut.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survei Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Mengapa hal ini bisa terjadi?
Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan penduduk miskin perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungan uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk perdesaan.
FENOMENA PENGANGGURAN
Sejak krisis ekonomi melanda tahun 1999 lalu, angka pengangguran rupanya terus membengkak. Orang makin sulit mendapatkan pekerjaan atau penghasilan untuk mempertahankan hidupnya.
Berdasarkan data Bapenas, saat ini jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai angka 9,1 juta jiwa. Jika para penganggur tidak kentara dimasukkan, yakni pekerja yang bekerja di bawah 35 jam seminggu, maka angka itu membengkak menjadi hampir 40 juta. Jadi, hampir seperempat dari total jumlah penduduk kita

Urgensi Perencanaan Pendidikan Berkualitas
Nampaknya tidak ada keraguan dari diskusi bahwa proyeksi SDM akan berlanjut dan menjadi panduan penting dari pendidikan, dalam membuat kontribusi terbesarnya untuk pertumbuhan ekonomi. Diskusi juga membuat jelas bahwa pertanyaan yang paling krusial yang membutuhkan penelitian saat ini adalah dalam area umum antara perencanaan pendidikan dan perencanaan SDM, lebih bersifat, sosiologis, psikologis, politis, dan paedagogis dalam karakternya daripada sifat ekonomisnya.
Bukti menunjukkan akumulasi bahwa ‘produksi’ pendidikan meningkat lebih cepat di banyak negara berkembang dibanding usaha menciptakan lapangan kerja baru untuk lulusannya, dan bahkan untuk para sarjana. Padahal rasanya baru kemarin usaha pembangunan dan pengaturan pelaksanaan pemerintahan di negara berkembang dibebani oleh kekurangan sumber daya manusia yang terdidik.
Sampai masalah pekerjaan dan pengangguran ini lebih dipahami, negara mengalami resiko pembuatan kebijakan yang salah dengan usaha pengembangan pendidikan, terutama jika tanda pertama dari timbulnya pengangguran diantara mereka yang terdidik membuat mereka panik akan kebijakan pengurangan pendidikan.

Mengapa Pendidikan?
Strategi yang paling tepat sasaran dan efektif bagi perubahan sosial adalah melalui pendidikan (Phillip Kotler). Masyarakat yang telah terbentuk sebelumnya bisa diperbaiki dengan strategi re-edukasi. Dalam strategi ini, dilakukan pendidikan dengan sasaran yang lebih tepat sasaran, sesuai kebutuhan, dan lebih ekonomis sehingga pendidikan yang diberikan memiliki kualitas yang tinggi namun bisa tetap terjangkau.
Permintaan Final untuk Pendidikan
Dalam prakteknya, pusat aspek konsumsi dari pendidikan adalah bukan ditentukan secara langsung oleh antisipasi permintaan maupun kemungkinan perencanaan produksi. Herbert S. Parnes, mengacu pada komposit pengaruh sebagai ‘pendekatan kultural’ untuk meningkatkan kebutuhan terhadap pendidikan. Bagi Parnes, ‘inti dari pendekatan kultural..adalah dalam rekognisi bahwa pendidikan menyediakan hal selain tujuan ekonomis.
Karena pendidikan adalah elemen vital dalam politik, sosial, dan modernisasi kultural, sama halnya pertumbuhan ekonomi, pemisahan tradisional dari aktivitas penggunaan-sumber yang meningkatkan produktivitas dan memberi kegunaan pribadi tidaklah sesuai. Buah kebenaran dalam posisi ini adalah program pendidikan memberi kontribusi pada modernisasi dan pembangunan melalui jalur selain peningkatan produkvitas dan evaluasi program dan penentuan prioritas harus juga memperhitungkan efek intra-struktur. Dalam prinsipnya, target untuk semua sektor harus ditentukan dengan memperhatika efek ekonominya, namun penghargaan ini pendidikan secara kualitatif berbeda karena hubungan integralnya dengan dimensi non ekonomis yang krusial dari pembangunan.

Persyaratan untuk Fasilitas, Perlengkapan, dan Personil
Penentuan jumlah insan terdidik pada akhir periode perencanaan, dan spesifikasi lanjutan dari rasio dimana target utama akan dicapai, akhirnya sampai pada penentuan fasilitas, perlengkapan dan para personil. Pada prinsipnya, pendirian target sektoral memperhitungkan pengetahuan kuantitas dan segala jenis faktor produktif yang orisinil dan produk lanjutan yang diperlukan untuk beragam output sektoral.
Untuk banyak komoditas, stardar produksi yang ada relatif banyak, dan keberadaan sumber daya, satu diantaranya cukup superior sehingga tidak susah untuk menentukan input yang dibutuhkan pemenuhan target sektoral. Keperluan untuk mengekonomisasi penggunaan pertukaran luar negeri dan nilai sosial dan budaya asli memperngaruhi pilihan diantara beragan metode produktif, sampai pada suatu titik, namun untuk kebanyakan komoditas, persyaratan teknologi dan keberadaan sumber daya domestik mempersempit jangkauan keberagaman, terutama jika produk harus bersaing dengan barang dari dalam maupun luar negeri.
Dalam sektor pendidikan, bagaimanapun sedikit yang diketahui tentang transformasi dari input ke output, dibandingkan dengan pilihan diantara metode produktif yang seringkali tidak muncul sebagai satu metode tunggal yang terbukti berhasil. Dalam keadaan ini, hampir tidak mungkin untuk mendapatkan kombinasi paling sederhana dari fasilitas, peralatan, dan personil, untuk menyediakan peningkatan dalam kapasitas keahlian. Bahkan, aturan jari kemudian digunakan dengan penghargaan untuk memberi ruang per orang, rasio guru-siswa, kualifikasi pengajar, peralatan dan bahan per siswa, dan disini terdapat dasar untuk penentuan biaya. Aturan jari ini biasanya berasal dari aplikasi metode belajar tradisional dari barat, dan secara umum dimodifikasi untuk kondisi lokal, terkadang gagal mempertimbangkan kemungkinan dasar yang datang untuk memenuhi kebutuhan dan sumber daya dari negara berkembang.
Pada proses perencanaan itu sendiri, keseluruhan proses yang terlibat dalam memformulasikan rencana dan mewujudkannya ke dalam tindakan. Masalah dalam perencanaan ini adalah seringkali hanya sampai pada jarang sekali keluar dari kertas dan diterapkan dalam kenyataan. Implementasi, bersama dengan kualitas, merupakan masalah nomor satu dalam perencanaan pendidikan. Kegagalan untuk mengimplementasikan rencana bisa jadi merupakan hasil dari beberapa sebab : kekurangan dana, fenomena leber botol dari ketersediaan guru dan fasilitas yang tidak bisa diantisipasi, ketidakseimbangan aliran siswa yang tidak terlihat, kapasitas pendidikan pada berbagai level, dan sejumlah kemungkinan lain. Namun masalah implementasi yang banyak ditemukan adalah kekurangan dalam hal mesin/alat administratif dan personil, dan kurangnya pemahaman dan dukungan untuk perencanaan bagian yang dapat dilaksanakan. Untuk alasan ini, ‘kemampuan administratif‘ bisa jadi sama penting dengan sumber daya, atau fenomena leher botol dari pendidikan, dalam hal uang dan pengajar.
Karena itu menjadi amat penting dalam proses perencanaan, untuk merencanakan, tidak hanya apa yang harus dilakukan dalam sistem pendidikan, tapi juga menyediakan aturan administratif, prosedur, dan personil yang diperlukan untk membuatnya terlaksana. Rencana yang dibuat seringkali tidak realistis, dan seringkali tidak dapat dikerjakan, karena belum diujikan untuk menghadapi keterbatasan ekonomi, atau karena tidak memperhitungkan sumber administratif untuk perencanaannya. Tantangannya adalah untuk menemukan sejumlan cara positif untuk memperkecil kekurangan, memperkuat dan memodernisasi sistem administratif, untuk membuatnya kapabel untuk menangani tugas perkembangan yang sulit dan penting yang hanya dapat ditangani mereka.
Sejauh ini, Pendidikan Murah dan Berkualitas di Indonesia mungkin hanya menjadi Utopia, impian besar yang tak mungkin tergapai. Namun dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, dukungan yang baik dari dunia internasional, serta pelaksanaan program yang kongkrit dan bersih dalam sistem pemerintahan yang telah kita miliki disini di Indonesia, mimpi besar itu mungkin tak lama lagi bisa diwujudkan. Dan Indonesia bisa kembali menjadi bangsa besar yang memimpin dengan sumber daya manusianya yang memiliki banyak keunggulan.

posted by Gina Al ilmi Santoso @ 2:34 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
 
<
about me
My Photo
Name:
Location: Bogor, Jawa Barat, Indonesia

simplifying analytics, lesser worries

Udah Lewat
Archives
Links
My Other Blog
Template By
Free Blogger Templates
© negeri hijau biru