Saturday, March 19, 2005 |
Shaping culture trends |
Kita bisa bicara banyak mengenai perilaku dan kebiasaan. Kita semua tahu bahwa keragaman perilaku dan kebiasaan adalah suatu hal yang biasa, lazim. Apa yang bisa kita katakan saat suatu hal sudah tersimpang jauh dari kelurusannya? Hanya bahwa arahan harus kembali dibuat lagi.
Kita bisa bicara banyak mengenai modernitas, tapi, apakah yang seharusnya menjaga segala perubahan apapun agar tidak mendatangkan suatu hal yang membahayakan ?
Dalam Islam, istilah untuk ini adalah menjaga asholah atau keaslian. Kemurnian, dalam segala hal. Dan untuk ini kita selalu berpegang pada pedoman. Pedoman (manhaj) kita yang utama adalah Al Qur’an dan hadits. Dan dari shirah nabiNya kita bisa menempatkan model acuan dari segala perbuatan kita.
Bukan hanya untuk kepentingan sejumlah umat manusia secara sesaat saja, tapi untuk perjalanan waktu yang tak terbatas. Untuk membentuk sejarah yang bersih. Yang jejak-jejaknya bisa dikenang dan diteladani sepanjang masa hingga akhir zaman.
Kita kemudian merubah paradigma berpikir kita, bahwa berda’wah bukan lagi hanya sekedar penyampaian seruan. Tapi jauh lebih daripada itu, yaitu untuk membentuk tren budaya.
Karena itu, kesalahan berperilaku atau pelanggaran etika, atau fallacies in code of conduct practising, menjadi satu hal yang menjadi pusat perhatian. Tak lebih dan tak bukan penyebab hal itu terjadi adalah paradigma shifting, kesalahan dalam memilih pola pikir. Kesalahan dalam memandang aturan, hingga akhirnya berakibat pada perilaku seseorang.
Saat kita memandang aturan secara terlalu bebas, kita pun akan bertindak teramat bebas. Dan budaya yang kita coba bentuk akhirnya kehilangan kekokohannya. Untuk itulah, penting artinya untuk kita menempatkan diri dalam koridor keaslian, dalam ikatan pedoman, karena tanpa itu, semuanya sia-sia belaka.
Saat kita telah menjadi pembentuk budaya, saat itulah kita memiliki tanggung jawab yang lebih tinggi lagi, yang lebih luas lagi.
Pembentukan budaya, untuk para da’i dan untuk da’wah secara umum, bukan lagi suatu impian, bahkan satu hal yang telah menjadi kenyataan. Tapi yang menjadi masalah sekarang, sampai sejauh mana peran kita itu? Atau kita hanya menjadi pengikut dari arus yang tercipta saja? Dan bukan yang menciptakan arus itu?
sebuah renungan saat melihat para penyusun legislasi yang terundur dalam budaya kekerasan dalam demokrasi Jangan jadi buih. Agar hidup kita jadi sebuah do’a -Gina al ilmi- |
posted by Gina Al ilmi Santoso @ 4:40 AM |
|
|
about me |
|
Udah Lewat |
|
Archives |
|
<
Links |
|
My Other Blog |
|
Template By |
|
|